PANGKALAN BUN, KOMPAS.com - Namanya Murah Seker. Kini ia sudah berusia 71 tahun. Pagi itu, di bawah matahari yang makin meninggi, kakek tua itu menceritakan pengalamannya 30-an tahun lalu, saat masih muda dan garang dalam berburu ikan duyung ( dugong dugon).
Kakek Murah sedang mempraktikkan ulang adegan-adegan perburuan mamalia laut yang kini keberadaannya makin terancam punah itu, di halaman kantor Desa Teluk Bogam, Kecamatan Kumai, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, Kamis (12/4/2018).
Dengan sebilah tombak yang dipegang dengan kedua tangannya mendatar setinggi pinggang, ia berdiri tegak, membayangkan tengah memimpin kelompok kecilnya di atas sebuah sampan.
"Dalam posisi seperti ini, teman di belakang masih boleh mendayung perlahan-lahan," kata dia.
(Baca juga: Sulitnya Melacak Ikan Duyung dan Lamun di Perairan Kotawaringin Barat)
Lalu, ketika mangsa yang ditarget terlihat berada di sekitar sampan, ia menegakkan tombaknya di sisi kanan, dengan mata tombak yang disebut tempuling, mengarah ke bawah. "Dalam posisi begini, jangan ada bunyi-bunyi lagi. Ikan duyung sudah mau timbul," jelasnya.
Sejurus kemudian, ia mengangkat tombaknya, siap membidik sasaran, saat mamalia herbivora itu muncul di permukaan air. Dan, "crappp!"
Saat mengena ke sasaran, mata tombak akan terlepas, menancap mengikuti ke mana gerak ikan yang terluka itu. Namun, mata tombak itu tetap dalam kendali si pemburu. Itu karena mata tombak telah diikatkan pada tali sepanjang 200 meter.
Tali itu berada di sekujur tombak sepanjang 3 meter. Di pangkal tombak, ia digulung layaknya benang layangan pada sebilah kayu kecil, yang dahulu berbahan rotan. Saat mata tombak tertancap ke tubuh duyung, tali akan dilepas dari tombaknya.
Lalu, pemburu membiarkan saja duyung nahas itu berusaha lari sejauh untaian tali kontrolnya. "Kita biarkan kira-kira sepenghabisan sebatang rokoklah," lanjut Murah.
(Baca juga: Habitat Duyung di Perairan Selatan Kalimantan Makin Terancam)
Kemudian, anggota pemburu yang di belakang Murah, melemparkan lagi tombak dengan mata tombak lainnya ke tubuh duyung yang makin kehabisan tenaganya itu. "Bisa empat sampai lima kali tombak. Karena duyung yang kita buru besar," ungkap Murah lagi.
Itu baru satu teknik. Cara lain berburu duyung adalah dengan menyandera duyung yang sudah tertangkap. Luka duyung itu diobati dengan tembakau jawa untuk menghilangkan bau darahnya. Lalu, si duyung yang disandera itu diikat, ditambatkan pada satu tiang.
"Biasanya duyung-duyung lain akan datang mendekat," ujarnya
Siungnya mahal
Waktu itu sekitar tahun 1965. Murah belum lagi berumur 20 tahun. Itulah saat ia mulai ikut berburu duyung.
Mulanya ia pergi dan belajar teknik berburu itu dari orangtuanya. Tradisi itu ia jalani terus, sampai ia terpilih sebagai pembekal (kepala desa) pada 1987.
(Baca juga: Menteri Susi Angkat Bicara soal Uang Kompensasi Pembebasan Ikan Duyung)
Menurut dia, kebiasaan berburu duyung ia hentikan lantaran mulai muncul larangan. Namun, ujar Hairusalam, staf kantor desa yang mendampinginya pagi itu, sebenarnya ia berhenti lantaran sudah tak melaut lagi.
Larangan mengonsumsi duyung baru dipertegas melalui PP Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, sebagai implementasi dari UU Keanekaragaman Hayati yang terbit pada 1990.
Menurut Murah, dahulu di pantai Teluk Bogam, perairan Laut Jawa, selatan Kalimantan itu, duyung bisa dilihat dengan hanya berdiri di dermaga tambatan perahu. Ia mengatakan, daging duyung begitu lezat, dengan kandungan lemak tinggi.
"Tinggal potong-potong, cuci bersih, kasih garam, sudah," kata dia.
Meski begitu, yang paling diincar dari perburuan mamalia langka ini adalah siung (taring)-nya. "Kalau sekarang masih ada, harganya bisa sampai Rp5.000.000. Begitu bisik-bisik yang saya dengar dari orang yang mencari siung itu," imbuh Murah.
(Baca juga: Ikan Duyung Dilepasliarkan dengan Kompensasi Rp 8 Juta)
Menurut kakek dengan 21 orang cucu ini, saat belum ada larangan berburu duyung, para pejabat daerah, termasuk bupati kerap datang memesan siung duyung. Siung itu berguna sebagai bahan membuat pipa penghisap rokok.
Rupanya, keahlian membuat pipa penghisap rokok dari siung di Teluk Bogam ini terkenal sampai keluar daerah. Menurut Murah, ia pernah mendapat pesanan dari Bali dan Pulau Belitung. Bahkan, pernah bahan atau siungnya itu dikirim dari daerah itu.
Kini keahlian berburu duyung itu tak lagi diwariskan ke anak cucu Murah. Larangan mengonsumsi duyung pun diperlakukan ketat di Teluk Bogam.
Desa ini menjadi salah satu tempat program Dugong and Seagrass Conservation Project (DSCP) dilaksanakan, selain di Bintan, Toli-Toli, dan Alor.
Ini merupakan program yang diinisiasi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Institut Pertanian Bogor (IPB), dan World Wildlife Fund (WWF) Indonesia.
(Baca juga: Bayi Ini Lahir dengan Tubuh Mirip Putri Duyung)
Idham Farsha, Site Manager WWF Indonesia untuk program DSCP di Kabupaten Kotawaringin Barat menuturkan, kini masyarakat sudah tahu dugong dilarang dikonsumsi. Menurutnya, perburuan menjadi salah satu penyebab langkanya dugong, selain limbah laut, dan rusaknya padang lamun, sebagai habitatnya.
Namun, Murah menolak bila tradisi perburuan itu yang menjadi penyebab terancam punahnya duyung. Ia mengatakan, limbah dan polusi suara dari mesin-mesin perahu saat inilah yang menyebabkan duyung menjauh.
Meski begitu, Murah yakin masih banyak duyung di perairan sekitar desanya. "Kalau pembekal melaut, mengatakan tiap malam ketemu. Kadang dua, satu, tiga," cetus Murah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar