Liputan6.com, Sendai - Junko Iizuka (bukan nama asli) masih berusia 16 tahun ketika dibawa ke sebuah klinik di timur laut Jepang. Dia dipaksa melakukan operasi misterius, yang belakangan diketahui, operasi itu dilakukan untuk mencegah agar dia tidak punya anak.
"Aku diberi obat bius, dan tidak ingat apapun setelahnya," kata Iizuka.
"Ketika aku terbangun, aku berada di tempat tidur dan melihat wastafel. Aku ingin minum, tapi tak diperbolehkan," lanjutnya.
Seperti dikutip dari The Guardian yang ditulis oleh wartawan Daniel Hurst langsung dari Sendai Jepang, pada Rabu (4/4/2018), Iizuka yang saat itu bekerja sebagai pembantu rumah tangga di sebuah keluarga akhirnya mengetahui bahwa operasi itu adalah untuk mensterilisasi rahimnya.
Ia mengetahui hal tersebut setelah tak sengaja mendengar bincang-bincang orangtuanya.
Iizuka terkejut setengah mati. Perempuan itu baru mengetahui bahwa dia adalah satu dari 16.500 orang Jepang yang dipaksa untuk mensterilisasi rahimnya di bawah undang-undang Negeri Matahari Terbit yang bertujuan untuk mencegah kelahiran anak cacat.
Saluran peranakan Iizuka diikat pada 1963, karena dia dicurigai memiliki keterbatasan mental. 55 tahun kemudian, suaranya bergetar ketika dia menjelaskan dampaknya: sakit perut yang persisten dan beban psikologis yang berat.
"Aku ke Tokyo untuk melihat apakah kondisiku bisa bisa dipulihkan, tetapi mereka mengatakan itu tidak mungkin," katanya. "Mereka telah mencuri hidupku."
Korban lain sterilisasi paksa, Yumi Sato --juga bukan nama asli, berusia 15 tahun ketika prosedur ini dilakukan pada tahun 1972. Saudara perempuan dari Sato, Michiko (yang juga bukan nama asli), mengatakan operasi itu akhirnya membuat saudaranya tak bisa menikah.
"Ketika dia berumur sekitar 22 atau 23 tahun ada pembicaraan tentang pernikahan. Tetapi ketika dia bilang tak bisa memiliki anak, pria yang telah melamarnya mengatakan tak ingin menikahinya," kata Michiko kepada Guardian.
"Pada saat itu, adalah hal normal bahwa Anda menikah untuk memiliki anak, sehingga sulit untuk menikah jika Anda tidak dapat memiliki anak."
Sato baru-baru ini meluncurkan gugatan untuk kompensasi dari pemerintah Jepang atas prosedur tersebut, dengan alasan UU Perlindungan Eugenika melanggar konstitusi pascaperang negara karena melanggar hak orang untuk mengejar kebahagiaan.
Ini adalah kasus pertama di Jepang dan korban lainnya berharap gugatan itu akan membantu membuka jalan bagi permintaan maaf publik yang lebih luas dari pemerintah.
Euganika dalah sebuah filosofi sosial yang berarti memperbaiki ras manusia dengan membuang orang-orang berpenyakit dan cacat serta memperbanyak individu sehat.
Puncak dari penyalahgunaan eugenika adalah pelaksanaan ideologi pemurnian ras yang dijalankan rezim NSDAP di bawah kendali pemimpinnya, Adolf Hitler.
Pada abad ke-20, banyak negara melakukan berbagai kebijakan eugenika dengan berbagai kebijakan seperti pemaksaan aborsi, genosida, pengendalian kelahiran, pengamatan genetika, dan pelarangan menikah.
Catatan resmi menunjukkan Sato disterilkan karena diagnosis "keterbelakangan mental yang herediter". Namun, keluarganya membantah klaim kondisi keturunan, dengan alasan bahwa anaknya telah menderita kerusakan otak karena ia diberi terlalu banyak anestesi saat kecil kala melakukan operasi untuk celah langit-langit mulut.
Michiko, yang telah tinggal bersama saudaranya selama lebih dari 40 tahun, mengatakan bahwa Sato adalah anggota keluarga yang sangat dicintai.
Ketika anak-anak Michiko masih kecil, Sato membantu merawat mereka dan mengganti popok. Michiko berspekulasi mungkin sulit bagi Sato untuk membesarkan anak-anaknya sendiri, "tetapi fakta bahwa hak itu diambil darinya benar-benar kejahatan".
Pada sidang pertama di pengadilan Distrik Sendai pada 28 Maret, perwakilan pemerintah menyerukan gugatan untuk diberhentikan.
Pemerintah Jepang berargumentasi prosedur kala itu legal. Hal itu demi meningkatkan kesejahteraa hidup masyarakatnya usai kekalahan telak Perang Dunia II. Undang-undanng itu tetap berlaku selama hampir lima dekade dan baru dicabut pada 1996.
Saksikan juga video berikut ini:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar