Begitu keluar bandara, mata langsung disuguhi panorama tak sedap dipandang. Permukiman warga tersusun berantakan dan berjauhan.
Rumah-rumah itu mayoritas dihuni warga eks Timor Timur (kini Timor Leste). Mereka mengungsi karena huru-hara di kampung halaman mereka pada periode 1975 sampai 1999. Pada 1999, saat referendum digelar di Timor Timur, mereka memilih bergabung dengan Indonesia.
Dalam referendum yang digelar 13 hari usai peringatan kemerdekaan Republik Indonesia, 30 Agustus 1999, sebanyak 94.388 orang atau 21,5 persen penduduk Timor Timur memilih tetap bergabung dengan Indonesia, sedangkan mayoritas 344.580 orang atau 78,5 persen warga Timor Timur memilih merdeka.
Provinsi ke-27 Indonesia itu akhirnya lepas dari Indonesia dan memperoleh status resminya sebagai negara pada 20 Mei 2002.
Mereka yang memilih tetap menjadi bagian dari Indonesia lantas berbondong-bondong mengungsi, menyeberang ke Nusa Tenggara Timur.
Sebagian besar pengungsi, 70.453 orang, menurut data Sekretariat Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Pengungsi Provinsi NTT tahun 2005, tinggal di Kabupaten Belu. Disusul 11.176 orang di Timor Tengah Utara, dan 11.360 orang di Kupang. Total pengungsi tercatat berjumlah 104.436 orang.
Di Belu sendiri, berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik Kabupaten Belu pada 2012, terdapat 53.500 orang penduduk miskin. Di sana, infrastruktur pun seadanya.
Jalan raya mulus selepas bandara misal hanya sampai dua kilometer. Setelah itu, jalanan yang menanjak ke bukit belakang bandara mulai berbatu. Aspal terkelupas oleh batu-batu yang mencuat ke permukaan.
Bukit di belakang bandara tersebut, mencakup antara lain Desa Kabuna, menjadi tempat penampungan eks warga Timor Timur.
Meski Belu –nama kabupaten di wilayah itu– bermakna 'persahabatan', namun kehidupan di sana kerap tak bersahabat.
Miskin
Agustina Mutubere. Dia perempuan suku Kemak yang berasal dari Kota Maliana, Timor Leste. Salah satu pengungsi di Atambua.
Rumah Agustina menghadap langsung ke Bandara AA Tere Balo. Di rumah itu, dia tinggal bersama empat anaknya, sedangkan empat anaknya yang lain pergi ke daerah lain untuk mencari penghidupan lebih layak.
"Kami pergi meninggalkan kampung halaman saat pergolakan tahun 1975. Suami saya buta, meninggal setengah tahun lalu. Untuk hidup sehari-hari, kami berharap dari kiriman anak yang bekerja di luar kota," kata Agustina saat CNNIndonesia.com bertamu ke rumahnya, Selasa (2/8).
Dari kiriman uang anaknya pula, Agustina membangun rumah berdinding batang dan beratap daun dari pohon gewang, sejenis pohon palem yang banyak ditemukan di Nusa Tenggara Timur.
Rumah Agustina amat sederhana, dengan satu kamar tidur saja. Tak ada kamar mandi di rumah itu. Terik matahari pun menerobos rumah, masuk di antara dinding batang dan atap daun. Untuk mengurangi sengatan sinarnya, spanduk iklan kopi dipakai untuk menutupi sebagian dinding rumah.
Di atas tikar yang digelar menutupi tanah yang menjadi alas rumah itu, putra Agustina, Adrianus Lelosoro, tidur lelap. Pelajar SMP itu baru pulang sekolah.
Kontras dengan limpahan cahaya pada siang hari, rumah itu gelap jika malam datang. Listrik belum masuk daerah itu. Penerangan petang hari hanya mengandalkan satu lampu minyak tanah.
Salah satu putra Agustina, Oktavianus Talo, juara maraton 10 kilometer Likurai Perbatasan tahun 2014 dan 2015, mengalahkan 199 lebih peserta yang berasal dari masyarakat umum dan tentara. Perlombaan itu merupakan rangkaian kegiatan Festival Timoresia yang digelar Kementerian Pariwisata.
Bagi Okta, menjuarai lomba maraton mungkin biasa saja. Namun dengan mata kirinya yang buta, itu cukup luar biasa. Mata kiri Okta tak lagi berfungsi sejak digigit ular hijau sewaktu ia kecil.
Hingga kini pemuda 17 tahun itu ingin terus berlari. "Saya ingin jadi atlet lari maraton, tapi pemerintah tidak pernah membantu saya."
Sang ibunda, Agustina, mengatakan tak pernah menerima bantuan pemerintah, sampai sekarang.
![]() |
April 2016, Sekretaris Kabinet Pramono Anung menyatakan pemerintah bertanggung jawab penuh atas pemberian kompensasi bagi rakyat Indonesia eks warga Timor Timor. Ucapannya itu terkait rencana pemerintah memberikan dana kompensasi Rp10 juta per kepala keluarga untuk warga Indonesia eks Timor Timur yang berada di luar Nusa Tenggara Timur.
Soal itu diatur dalam Peraturan Presiden RI Nomor 25 Tahun 2016 tentang Pemberian Kompensasi kepada Warga Negara Indonesia Bekas Warga Provinsi Timor Timur yang Berdomisili di Luar Provinsi Nusa Tenggara Timur. Perpres itu diteken 30 Maret oleh Presiden Joko Widodo.
Tuntut perhatian
Gemericik air terdengar dari sumur umum di seberang rumah Agustina. Tiga remaja perempuan sedang mencuci baju dan menimba air. Bella, 13 tahun, membawa jeriken berisi air di atas kepalanya, sementara kedua tangannya masing-masing menjinjing jeriken pula. Kedua kawannya melakukan hal serupa.
Sudah jadi kewajiban mereka untuk menimba air guna keperluan sehari-hari, sepulang sekolah. Maka sumur itu sangat berharga bagi warga setempat.
Tetangga Agustina, Jose Filomena asal Distrik Natarbora, Timor Leste, mengatakan kehidupan di Atambua sesungguhnya lebih baik ketimbang di daerah asalnya.
Jose mengungsi ke Atambua bersama pamannya, seorang pegawai negeri sipil, pada 1999. Saat itu ia berumur 14 tahun, dan tak sempat menamatkan pendidikannya di satu SMP di Timor Timur.
Sial baginya, sebab dia juga tak bisa melanjutkan sekolah di Atambua karena prosedur pindah sekolah yang rumit, ditambah ketiadaan biaya. Jose akhirnya bekerja sebagai tukang ojek, dengan penghasilan maksimal sehari Rp150 ribu.
Ia sempat pulang kampung tahun 2009 lewat jalur ilegal di selatan Pulau Timor. Namun setelah setahun satu bulan di Natarbora, ia memutuskan kembali ke Atambua.
"Saya tidak menyesal pindah ke Indonesia karena kondisinya lebih baik. Tapi saya kecewa kenapa saya tidak diperhatikan pemerintah," kata Jose.
Tak jauh dari situ, dua perempuan eks warga Timor Timur tampak memunguti botol plastik bekas dari tumpukan sampah di pinggir jalan. Botol-botol itu mereka masukkan ke kantong plastik hitam berukuran besar, untuk nantinya dijual Rp3 ribu per kilogram. Ketiadaan lapangan kerja layak membuat mereka terpaksa menjadi pemulung.
Sudah 71 tahun Indonesia merdeka, dan 17 tahun Timor Timur dilepaskan. Derita mereka yang berada di tepian tak jua berakhir. Saatnya Jakarta merealisasikan niatnya, meneropong sungguh-sungguh ke tapal batas. (agk)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar