RISIKO jadi pasangan hidup seorang pejuang, adalah harus punya ketegaran dan keberanian "setengah dewa". Memang, tidak sedikit yang pada akhirnya anak-istri terpaksa ikut terlibat dalam peperangan di era revolusi kemerdekaan 1945-1949.
Salah satu tokoh yang punya catatan pengalaman unik bersama keluarganya di zaman perang adalah H AS Hanandjoeddin. Salah satu figur besar Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) yang pascaperang sempat menjabat bupati di kampung halamannya, Pulau Bangka Belitung.
BERITA REKOMENDASI
Dituliskan Haril M Andersen di buku 'Sang Elang: Serangkai Kisah Perjuangan H AS Hanandjoeddin di Kancah Revolusi Kemerdekaan RI', Hanandjoeddin yang pada Desember 1947 menjabat Komandan Pasukan Teknik AURI Sektor Tumpang Front Malang Timur, memutuskan turut mengikusertakan keluarga dalam kancah revolusi.
Disebutkan, dengan susah payah sang mertua, Fatukah, menyamar jadi tukang jamu gendong dari Kota Malang mencari Opsir Muda Udara (OMU) III Hanandjoeddin masuk ke kantong-kantong gerilya. Sang mertua bahkan sempat dicurigai sebagai mata-mata Belanda dan nyaris dihabisi.
Namun Tuhan berkehendak lain. Fatukah akhirnya bisa dipertemukan dengan menantunya dan menyampaikan pesan, bahwa sang istri, Musri'ah, bertekad ikut Hanandjoeddin berjuang di daerah gerilya.
Sempat ada rasa bimbang di benaknya karena memikirkan bagaimana nanti anak-anaknya. Tapi setelah diyakinkan sang mertua, akhirnya Hanandjoeddin mengiyakan permintaan istri yang disampaikan mertuanya itu.
Anaknya yang sudah agak besar, Herman, bersama keluarga, sementara Hanafi, putranya yang masih bayi, ikut dengan ibu dan ayahnya ke daerah gerilya. Hanandjoeddin juga berpesan pada mertuanya bahwa nanti akan ada anak-anak buahnya yang akan menjemput Musri'ah dan bayinya.
Namun sebelum benar-benar pergi, sang mertua justru juga ingin punya peran dalam perjuangan. Fatukah memberanikan hatinya untuk jadi telik sandi atau intel (intelijen)!
"Nak Hanan, kalau diperbolehkan ibu akan membantu perjuangan kalian. Ibu siap jadi telik sandi," ungkap Fatukah yang sempat dibalas penolakan Hanandjoeddin karena khawatir akan keselamatan ibu mertuanya.
"Percayalah pada ibu, nak! Ibu bisa melakukannya. Berilah kesempatan ibu berjuang bersama kalian," imbuhnya bersikeras yang pada akhirnya, diizinkan Hanandjoeddin dengan lebih dulu diberi bimbingan kilat dari bagian intelijen AURI Sektor I Tumpang.
Tugas pertamanya, Fatukah diminta membawa sepucuk surat rahasia untuk bisa memasuki dan keluar dari daerah gerilya. Selepas itu, Fatukah diantar anak-anak buah Hanandjoeddin ke perbatasan Kota Malang yang dikuasai Belanda.
Tak lama setelah kedatanga ibu mertuanya, hadirlah istri dan anaknya sesudah dijemput dua anak buahnya di Kampung Lowok Waru. Begitu riangnya hati Hanandjoeddin mencium dan memeluk istri dan putranya.
"Mas, biarkan aku mendampingimu. Apapun yang terjadi, biarlah terjadi. Berilah aku kesempatan berjuang bersamamu sampai ajal menjemputku," tutur Musri'ah yang dijawab singkat: "Iya dik, kita akan berjuang bersama-sama,".
Di daerah gerilya, Musri'ah diperbantukan di bagian Palang Merah dan ikut turut bergerak bersama pasukan di Front Malang Timur untuk terus menghindari Belanda, sembari mengasuh Hanafi yang masih bayi.
Suatu ketika dalam masa gerilya, terjadi satu momen dramatis yang nyaris mengorbankan istri dan anak Hanandjoeddin. Kisah saat Musri'ah dan bayinya diuber-uber Pesawat P-51 Mustang alias "Cocor Merah" di sebuah persawahan.
Saat sedang mengasuh bayinya di pematang sawah milik warga sekitar, Musri'ah mendengar deru pesawat pemburu Belanda itu dari kejauhan. Saat burung besi itu terbang rendah di atasnya, Musri'ah spontan melompat ke sawah sambil memegangi bayinya.
Bayinya didekap kuat-kuat sambil berteriak minta tolong pada suaminya. Hanandjoeddin pun segera lari ke lokasi seraya menyandang sebuah senapan laras panjang ke tengah-tengah petak sawah tempat istri dan anaknya bersembunyi.
Untuk berlari kembali ke arah hutan-hutan, sangat berisiko dengan membawa bayinya. Satu keputusan dramatis terpaksa dilakukan, di mana Hanandjoeddin dan istrinya terpaksa meninggalkan bayinya sementara di sawah.
Dua gumpal kapas yang diambil dari sakunya, dipakaikan ke kedua telinga sang bayi. Kemudian separuh tubuh sang bayi dibenamkan ke lumpur sawah dengan hanya kepala yang menyembul keluar. Diyakini Hanandjoeddin, kalaupun tentara darat Belanda datang, mereka takkan melihat bayinya di antara batang-batang padi yang tinggi.
Hati kecil Musri'ah menangis karena harus meninggalkan bayinya sementara. Mereka segera lari ke arah hutan tanpa membawa Hanafi dan sepucuk senapan laras panjang yang awalnya disandang Hanadjoeddin.
"Dik, ayo cepat kita lari sekarang. Biarlah Allah SWT yang menjaga anak kita," cetus Hanandjoeddin.
Pesawat P-51 Mustang itu sempat terus meraung-raung di atas perkampungan hingga berselang 15 menit kemudian. Setelah keadaan aman, pasangan suami-istri (pasutri) itu kembali ke persawahan. Alhamdulillah, putra mereka masih selamat!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar