Rabu, 21 Juni 2017

'Hopeless Fountain Kingdom' Halsey; Kisah Klasik, Eksekusi Modern

Jakarta -

Kita sudah berulang kali mendengarkan nyanyiannya dalam kolaborasi dengan The Chainsmokers. Kalimat "We ain't ever getting older" pun sudah terulang beribu kali dalam benak. Sementara hit single tersebut masih mendapatkan airplay yang dahsyat, saatnya Halsey melempar album keduanya yang bertajuk Hopeless Fountain Kingdom.

Ada pernyataan yang cukup menggelitik mengenai album ini. Ketika Halsey merilis album perdananya yang berjudul Badlands (2015), ia tidak bermaksud membuat album dengan materi-materi yang radio friendly karena itu adalah sebuah album dengan konsep, yang mana bernasib sama sebetulnya dengan album kedua ini, di mana ia sangat terinspirasi dari drama William Shakespeare, Romeo & Juliet.

"Saya punya kapabilitas yang lebih dari sekedar membuat album radio," begitu ujarnya. Ia menggandeng nama-nama seperti Greg Kurstin, Benny Blanco, dan Ricky Reed untuk pembuatan album ini.

"Now or Never" yang didaulat sebagai single pertama memiliki groove R&B yang kental dan reffrain yang cukup membius. "Heaven in Hiding" bercerita mengenai gejolak cinta terpedam dalam sebuah situasi, di mana sembari Halsey menyanyikan narasinya, musik mulai membangun intensitasnya menjadi panas dan megah. Jika dibayangkan mungkin seperti adegan Romeo & Juliet saling curi pandang dalam sebuah pesta seperti pada karya film Baz Luhrmann.

Lucunya, track berikutnya yang berjudul "Alone" bagaikan balasan dari "Heaven in Hiding" dalam perspektif orang sebaliknya. "Alone" memiliki intro ala Motown dan beat menggemaskan. Liriknya pun lebih centil dan menggoda.

"Sorry" menjadi lagu ballad pertama setelah rentetan 5 lagu pop dengan bebunyian electronica dan polesan cantik di sana-sini. Track ini merupakan track yang sangat emosional, berlirik dalam. Bagaimana kegelisahan yang amat sangat selalu ia rasakan. Bagaimana kegelisahannya selalu menyingkirkan orang-orang tersayangnya, hanya karena ia takut menyakiti mereka.

Sementara itu "Lie" terdengar epic karena seruan Halsey yang lantang dan berlapis ala Timur Tengah, diiringi oleh dentingan piano yang membuat segalanya semakin dramatis. Hopeless Fountain Kingdom rata-rata bercerita mengenai kisah cinta yang meletup-letup, sesuai dengan usia Halsey yang masih 22 tahun.

Sebagian besar liriknya berpusat pada hubungan percintaan dengan berbagai problematikanya. Ia pun banyak bercerita mengenai kegelisahan tak tentu arah. Coba dengar "Sorry", atau cerita akan pengalamannya dengan beberapa pria yang pernah singgah di hatinya pada "Bad In Love".

Atau "100 Letters" yang bercerita mengenai dua insan yang berusaha keras membuat hubungan percintaan mereka berjalan dengan baik yang ia deskripsikan dengan mitologi Yunani. "Angel on Fire" juga bercerita mengenai kegelisahannya dalam kondisi yang berbeda. Di sini ia bercerita mengenai bagaimana dalam satu momen ia bisa

menjadi pusat perhatian, namun dalam waktu sekejab bisa tidak dipedulikan sama sekali.

Dalam sebuah artikel memang pernah disebutkan bahwa perempuan asal New Jersey ini memiliki penyakit anxiety yang cukup mengkhawatirkan. Jika sebelumnya dikatakan bahwa Halsey membuat album ini dengan konsep Romeo & Juliet, ketika mendengarkan eksekusinya rasanya konsep tersebut terlalu muluk.

Karena di sini pada akhirnya ia banyak bercerita mengenai dirinya sendiri dengan segala kegelisahannya, di mana yang diharapkan adalah sebuah kisah cinta sejati yang meninggalkan kesan dalam. Namun secara musikalitas, ia

tetap bisa mempertahankan aransemen-aransemen yang variatif, pemakaian bebunyian unik (jangan lupa vocoder dan autotune yang rajin ditampilkan), dan tentunya ia masih pantas menyandang predikat penyanyi pop dengan sentuhan alternatif.


(ken/ken)

Let's block ads! (Why?)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Incoming Search