Kalangan kampus seperti Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Universitas Islam Indonesia (UII) bersama keluarga mendukungnya. Sardjito yang menjadi rektor pertama UGM dan pernah menjabat rektor UII itu dikenal sebagai pejuang.
Semasa hidupnya sudah banyak berjasa kepada untuk Republik Indonesia.Dia juga menerima Bintang Mahaputra, Bintang Gerilya, Bintang Kemerdekaan, Bintang Karyasatya dan lain-lain. Sardjito adalah lulusan pendidikan dokter pribumi (STOVIA) di Jakarta. Dia juga sudah aktif di Budi Utomo. Pada masa kemerdekaan, ia sempat menguasai lembaga Pasteur di Bandung untuk memproduksi vaksin dan obat-obatan bagi Indonesia.
Salah satu jasa Sardjito adalah vaksin cacar. Saat itu penyakit cacar menjadi penyakit mematikan bagi rakyat dan para pejuang kemerdekaan Indonesia.
Sebelum Indonesia merdeka, ancaman cacar ini sudah menjadi perhatian Belanda. Kemudian Belanda lewat Institut Pasteur Bandung mencoba mengembangkan vaksin cacar. Setelah Indonesia merdeka, Institut itu segera diambil alih oleh republik.
![]() |
"Memang sejak awal Institut Pasteur yang dibuat Belanda itu tugasnya membuat vaksin cacar," kata Guru Besar FK UGM, Prof Dr dr Sutaryo kepada wartawan di sela-sela Seminar Ragional Ilmuwan Pejuang, Pejuang Ilmuwan: Peran Prof Sardjito dalam Revolusi Fisik Kemerdekaan RI di UGM, Kamis (25/1/2018).
Sutaryo menjelaskan, proses pengambil alihan Institut Pasteur Bandung ke tangan republik tidak bisa dilepaskan dari peranan Prof Sardjito. Dia yang kala itu menjabat Kepala Laboratorium Kesehatan Semarang mendapat tugas dari Menteri Kesehatan, Dr Boentaran untuk mengambil alih Institut tersebut.
Namun setelah diambil alih masalah baru dihadapi Prof Sardjito. Meski sudah berhasil mengambil alih dari tangan Jepang, tentara sekutu menyerbu Bandung pada Oktober 1945. Alhasil vaksin yang dikembangkan di institut tersebut terancam dikuasai sekutu.
"Karena Institut Pasteur (Bandung) berada di daerah pendudukan Inggris, Belanda, sehingga beliau harus menyelamatkan kerja Institut Pasteur untuk membantu perjuangan (kemerdekaan), dengan cara membuat obat dan membuat vaksin," paparnya.
Menurut dia, saat itu Sardjito berpikir keras bagaimana menyelamatkan obat-obatan dan vaksin yang sudah dikembangkan di Institut Pasteur Bandung. Akhirnya dia menemukan solusi, yakni memindahkan vaksin ke daerah pedalaman yang sukar dijangkau sekutu.
Tetapi memindahkan vaksin dari daerah kekuasaan sekutu bukan perkara gampang. Sebab, tentara sekutu mengawasi ketat peredaran barang yang keluar masuk di daerah kekuasaannya. Di sinilah kejeniusan Prof Sardjito terlihat dengan cara memindahkan vaksin dengan memakai kerbau.
"Mengapa menggunakan kerbau? Karena kalau berupa alat-alat yang modern saat itu akan mendapat blokade Belanda. Belanda tidak punya kerbau, sehingga digunakan hewan kerbau itu. Virus penyebab cacar itu dimasukkan ke kerbau, disuntikkan kemungkinan," jelasnya.
Kerbau berisi vaksin tersebut akhirnya berhasil dibawa keluar dari Bandung. Belum diketahui secara pasti kendaraan apa yang dipakai Prof Sardjito untuk mengangkut kerbau tersebut. Namun sebagian kalangan menyebut kerbaunya diangkut memakai kereta api ke wilayah RI yakni di Yogyakarta.
"Kemudian virus itu akan berkembang selama perjalanan, (kurang lebih dua minggu) kerbau dari Bandung ke Klaten. (Sesampainya di Klaten) kerbau dibongkar perutnya, diambil organ-organ yang mengandung virus cacar. Virus di dalam tubuh kerbau itu dipanen," ungkapnya.
Berkat usahanya ini, akhirnya rakyat dan pejuang kemerdekaan mendapatkan pasokan obat-obatan dan vaksin cacar yang cukup. Usaha yang dilakukan Prof Sardjito jelas luar biasa, karena sebelumnya belum pernah seorang peneliti memakai kerbau untuk memindahkan vaksin.
Selain berkonstribusi di bidang kedokteran dan pendidikan, Prof Sardjito juga berjasa besar bidang kebudayaan di Indonesia. Lewat tulisannya berjudul The Revival of Sculpture in Indonesia, Candi Borobudur dan Prambanan akhirnya semakin dikenal dunia internasional.
Tulisan Prof Sardjito ini dipresentasikan di Kongres Pasifik Keilmuan ke-8 di Quezon City Manila Filipina tahun 1953. Topik yang dibahas di dalam makalahnya yakni mengenai seni memahat di Indonesia dari prasejarah sampai masa kolonial, bahasanya diulas lewat perspektif genetika.
"Memang perhatian kita, UNESCO, kawan-kawan di dunia internasional menjadi tertarik kepada Borobudur itu setelah Prof Sardjito mempresentasikan hasil penelitiannya di Filipina," tambah Rektor UGM, Prof Ir Panut Mulyono M Eng D Eng.
Panut menjelaskan, memang Prof Sardjito bukan dari kalangan tentara yang berada medan tempur melawan penjajah. Namun, menurutnya perjuangan Prof Sardjito dengan mengenalkan Indonesia keluar juga merupakan prestasi yang luar biasa.
"Juga ide beliau untuk membuat tablet biskuit, yang mana tablet biskuit itu merupakan makanan yang praktis dengan kandungan gizi yang baik. Dan itu sebagai runsum para pejuang di medan perang. Jadi lebih terjamin dari sisi untuk logistik," ungkapnya.
Rektor Universitas Islam Indonesia (UII), Nandang Sutrisno SH M Hum LLM Ph D menjelaskan, Prof Sardjito juga berjaga besar di bidang pendidikan. Selain menyempurnakan konsep Tri Dharma Perguruan Tinggi, Prof Sardjito juga berjasa besar membangun UII.
"Prof Sardjito itu menjabat Rektor UII tahun 1963-1970," sebutnya.
Di bawah kepemimpinan Prof Sardjito, kata Nandang, UII berhasil berkembang dengan cepat. Bahkan UII berhasil membuka berbagai cabang di berbagai daerah. Tercatat ada 22 fakultas di UII yang tersebar di berbagai daerah saat dipimpin Prof Sardjito.
"Dari 22 fakultas itu, di Yogyakarta ada lima fakultas, Surakarta tiga, Madiun tiga, Purwokerto empat, Gorontalo dua, Bangil satu, Cirebon dua dan di Klaten dua fakultas," bebernya.
Tetapi, seiring adanya kebijakan baru dari pemerintah pusat cabang-cabang UII di berbagai daerah akhirnya banyak yang membubarkan diri, berdiri otonom, ada juga yang melebur ke kampus lain. Peleburan itu juga dialami Fakultas Kedokteran UII yang ada di Surakarta.
"Yang bergabung seperti Fakultas Kedokteran UII Cabang Purwokerto melebur ke Universitas Jenderal Sudirman. Fakultas Kedokteran UII di Surakarta melebur dengan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta," paparnya.
Sementara itu Budi Santoso mewakili keluarga berharap usulan agar Prof Sardjito memperoleh gelar pahlawan nasional bisa segera terwujud.
"Perjuangan beliau dari perjuangan fisik sampai perjuangan keilmuan ada (uuntuk republik)," ucap anak angkat Ibu Sardjito, Budi Santoso (63) kepada detikcom.
Agar pengajuan diterima, kata Budi, pihaknya telah menyerahkan berbagai dokumen yang dibutuhkan UGM untuk mengusulkan nama Prof Sardjito sebagai pahlawan nasional. Dokumen peninggalan Prof Sardjito sendiri selama ini juga masih tersimpan rapi di rumahnya.
(bgs/bgs)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar