Hubungan politik Arab Saudi dan Rusia ibarat kawan lama. Bermula dari keakraban, ditempa kerenggangan, lantas berupaya untuk kembali menjadi karib.
Sebagai perhelatan paling akbar di ranah sepak bola, Piala Dunia kerap mengemban misi persahabatan antara negara-negara yang bertanding. Keberadaannya selalu membawa pesan perdamaian dan penolakan untuk memberikan tempat bagi aksi-aksi rasialisme yang dipercaya tak akan membuat sepak bola menjadi lebih baik.
Tak cuma pesan-pesan positif macam tadi, Piala Dunia kerap ditunggangi oleh kisah-kisah politik. Lihatlah gelaran Piala Dunia 1978 yang menjadi alat bagi junta militer Argentina untuk memproklamirkan kekuatan militernya kepada dunia.
Baca Juga :
Atau, ingat-ingat lagi proses pemilihan tuan rumah Piala Dunia 2022. Di dalamnya, muncul cerita-cerita politis. Mulai dari isu permusuhan Sepp Blatter dengan Muhammad Bin Hammam yang waktu itu berjabatan sebagai sekjen AFC, yang juga berkewarganegaraan Qatar, hingga cerita tentang diplomasi uang 'kampanye terselebung' Qatar.
Lantas, laga pembuka yang melibatkan Arab Saudi dan Rusia menjadi menarik. Tak cuma karena statusnya sebagai laga pembuka, tak hanya tentang kemungkinan kejutan yang bisa saja dihadirkan oleh tim-tim non-unggulan seperti mereka. Pertandingan ini juga menjadi menarik karena ia mengingatkan dunia pada hubungan politis keduanya yang unik.
Jalinan diplomasi kedua negara ini sudah lahir pada 1926. Waktu itu, Rusia masih menjadi bagian dari Uni Soviet dan Arab Saudi masih dikenal dengan nama Kerajaan Hejaz dan Nezd.
Periode pelik itu mulai tercium sejak 1938, saat Arab Saudi memutuskan berubah haluan ke negara barat. Selama masa Perang Dingin, Arab Saudi berkali-kali terlibat mempersenjatai pemberontak Afganistan yang berperang melawan Soviet.
Tahun 2007 dikenal sebagai waktu yang bersejarah dalam hubungan Arab Saudi dan Rusia. Vladimir Putin menjadi presiden pertama Rusia yang mengunjungi Arab Saudi. Kebanyakan pihak menilai, kunjungan Putin ini merupakan bagian dari upaya untuk mencairkan hubungan kedua negara.
Rusia akhirnya mengumumkan perdagangan dengan Arab Saudi pada 2012. Hubungan dagang ini tetap memiliki syarat politis: Rusia tak boleh menjual sistem rudal C-300 ke Iran, yang notabene merupakan musuh Arab Saudi.
Bila ditelisik, hubungan tak harmonis antara Iran dan Arab Saudi adalah konflik yang turun-temurun dan beranak cucu, sejak zaman Abu Bakar. Singkat kata, hubungannya makin memanas sejak Revolusi Iran pada 1979. Iran menunjukkan kekuatannya lewat revolusi.
Setelah revolusi, Iran pun mendukung perlawanan Palestina terhadap Israel. Mereka menuduh Arab sebagai negara yang mengabaikan nasib orang-orang Palestina. Setelahnya, dunia mengenal perang Iran-Arab pada 1980, kericuhan haji pada 1987 yang berujung pada berakhirnya hubungan diplomatik Iran dan Arab Saudi, dan program nuklir Iran pada tahun 2000-an.
Namun, Putin adalah Putin. Ia adalah aturan itu sendiri. Bukannya menjalankan syarat menyoal transaksi rudal tadi, ia malah menyetujui kontrak senjata bersama Iran. Konon, kontrak ini bernilai 1 miliar dollar AS.
Kerja sama ini lantas membikin Arab Saudi menutup kepercayaan kepada Rusia. Ke depannya, tuding-menuding berlanjut. Rusia menuding Arab Saudi mendukung gerakan anti-Rusia yang gencar di sejumlah titik: mulai dari Afganistan, Chechnya, hingga Dagestan.
Konflik Suriah yang dimulai pada 2011 juga menjadi arena perselisihan keduanya. Rusia ada di kubu yang sama dengan Presiden Suriah, Bashar al-Assad. Sementara Arab Saudi dan Amerika Serikat menjadi pihak yang menentang Bashar al-Assad.
Beruntung, hubungan ini mulai mencair pada 2015 di bawah kepemimpinan Raja Salman di Arab Saudi. Upaya menjalin kembali hubungan diplomasi dibuktikan dengan kunjungan putra Raja Salman, Pangeran Mohammed bin Salman. Adapun, kerja sama investasi dan energi yang menjadi sasaran keduanya.
Pada 4 Oktober 2017, sejarah Arab Saudi dan Rusia lahir dalam bentuknya yang lain. Terhitung sejak tanggal tersebut hingga tiga hari ke depannya, Raja Salman melakoni kunjungan ke Rusia. Ini menjadi pertama kalinya Raja Arab Saudi menjejak ke 'rumah' Putin.
Pembahasan menyoal kerja sama di bidang ekonomi dan budaya menjadi agenda utama. Dalam situs resmi Kepresidenan Rusia juga disebutkan, keduanya bahkan menandatangani nota kesepakatan tentang ekplorasi luar angkasa untuk tujuan perdamaian serta peta perdagangan, ekonomi, dan ilmiah dalam jangka menengah.
Kerja sama investasi keduanya mewujud dalam dana 1 miliar dolar AS yang dikucurkan Arab Saudi bagi proyek energi Rusia. Uniknya, keduanya juga menyepakati kerja sama bidang energi lainnya sebesar 1,1, miliar dollar AS dalam bentuk pembangunan pabrik petrokimia Rusia di Arab Saudi.
Kunjungan ini pun membuahkan kerja sama dalam bidang pertahanan dan keamanan. Saudi bersedia membeli sistem pertahanan Rusia yang dikenal dengan kode S-400. Sementara, Rusia lewat Public Investment Fund of Saudi Arabia (PIF) dan Russian Direct Investment Fund (RDIF) menanam investasi di United Transport Concession Holding senilai 100 juta dolar AS.
Bila ditarik kesimpulan, baik Rusia maupun Arab Saudi, sedang ada dalam tahap memperbaiki dan merawat hubungan politik. Kendati demikian, tak ada yang memungkiri bahwa selalu ada kepentingan politis lain di balik upaya-upaya macam ini.
Misalnya, anggapan bahwa Arab Saudi berusaha melakukan pendekatan kepada Rusia yang notabene merupakan mitra Iran, sehingga mereka dapat meredam pergerakan Iran. Atau juga, ada kaitannya dengan kepentingan Rusia untuk memanfaatkan situasi kemunduran Amerika Serikat (yang dikenal sebagai mitra Arab Saudi) di Timur Tengah.
Namun, apa pun yang jadi kepentingannya, yang pasti, keduanya akan berlaga dalam Piala Dunia. Menepikan sejenak kepentingan dan urusan politis keduanya, laga pembuka ini pun juga menyoal ambisi keduanya untuk membuktikan bahwa mereka bukan sekadar tim penggembira di atas pentas terakbar sepak bola dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar