Sabtu, 11 Juni 2016

Kisah Ilmuwan Cari Obat untuk Lawan Super Mikroba

TEMPO.CO, Los Angeles - Harapan terkadang muncul di tempat tak terduga. Itu pula yang dialami para peneliti dari University of South Florida. Mereka berhasil membuat ekstrak dari spons laut Dendrilla membranosa, yang diambil di Antartika. Hasil riset ini dimuat di jurnal Organic Letters milik Perhimpunan Ahli Kimia Amerika.

Senyawa dalam ekstrak itu, disebut darwinolide, dapat membunuh 98 persen sel bakteri Staphyloccocus aureus, yang dikenal resistan terhadap antibiotik metisilin (MRSA). Bakteri ini menyebabkan infeksi mematikan. Bertahun-tahun infeksi MRSA menjadi masalah besar karena penyebarannya yang luas.

Senyawa baru tersebut bakal menjadi peluru ajaib dalam melawan infeksi MRSA. "Bakteri ini sudah kebal terhadap antibiotik vancomycin dan mengancam semua opsi berharga yang kita miliki dalam melawan infeksi Staphyloccocus sp," kata Lindsey N. Shaw, ahli mikrobiologi USF, seperti ditulis laman Science Daily.

MRSA adalah bakteri unik. Ia dapat memicu berbagai infeksi, dari infeksi kulit, pneumonia, hingga infeksi pada jaringan tisu di jantung. MRSA dikenal sebagai salah satu superbug atau mikroba super alias bakteri yang resistan terhadap sejumlah antibiotik.

Mikroba tangguh ini muncul setelah menempuh jalan panjang, berevolusi, dan memenangi pertarungan melawan antibiotik yang didesain untuk membunuh mereka. Superbug tak cuma mikroba yang bertahan menghadapi antibiotik, namun mereka juga berkembang sangat pesat.

Berdasarkan laporan tim yang dipimpin ekonom Inggris, Jim O'Neill, superbug tumbuh menjadi salah satu ancaman terbesar bagi manusia. Infeksi superbug membunuh 700 ribu manusia setiap tahun. Pada 2050, diestimasi ada tambahan 10 juta orang tewas akibat infeksi ini. Artinya, tiap tiga detik satu orang meninggal karena superbug. Kawasan Asia dan Afrika paling berisiko.

Infeksi minor, termasuk luka operasi, bisa membahayakan keselamatan para pasien karena faktor risiko superbug. "Kemenangan besar melawan infeksi dalam 50 tahun terakhir yang susah-payah dicapai akan terancam," demikian menurut laporan tersebut.

Penggunaan antibiotik berlebihan ternyata berkontribusi besar terhadap peningkatan resistansi bakteri. Antibiotik sering digunakan untuk mengobati demam dan flu yang sebenarnya dipicu virus. Keperluan pemakaian antibiotik harus dipertimbangkan masak-masak.

"Antibiotik membunuh bakteri non-resistan di tubuh dan membuat risiko pertumbuhan bakteri resistan semakin besar," kata Brad Spellberg, spesialis penyakit infeksi dari Harbor-UCLA Medical Center.

Risiko infeksi bakteri sebenarnya bisa diminimalkan dengan mencuci tangan. Masalahnya, banyak orang mencuci tangan menggunakan sabun antibakteri. Padahal mencuci tangan, terutama telapak, cukup dengan sabun biasa dan air mengalir.

Sean Elliott, pakar penyakit infeksi dari University of Arizona, menyebut sabun antibakteri membuat kulit menjadi lebih kering. "Hilangnya kelembapan yang melindungi kulit justru membuat risiko terinfeksi bakteri meningkat," kata dia.

SCIENCEDAILY | THE GUARDIAN | NEWS.COM.AU | WEBMD | CBSNEWS | ORGANIC LETTERS | GABRIEL WAHYU TITIYOGA

Let's block ads! (Why?)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Incoming Search