Senin, 22 Mei 2017

Kisah Haru Mualaf Tampan yang Nikahi Gadis Buta dan Lumpuh

Rita Lavenia Syaiful, Samarinda

"Ternyata Samarinda Seberang begitu indah dan tenang. Masyarakatnya juga ramah dan santun. Aku pasti kerasan di sini," gumam Herman ketika menikmati senja di tepi sungai Mahakam di salah satu dermaga di Samarinda Seberang.

Herman adalah blasteran Indonesia-Belanda yang baru saja tiba di Samarinda. Dia ke Kota Samarinda untuk mengunjungi kakek dan neneknya yang tinggal di Samarinda Seberang. Selama setahun sebelumnya, Herman sempat tinggal bersama ibunya di Banjarmasin, Kalsel.

Berpostur tinggi, kulit putih bersih dan mata cokelat muda, ditambah tutur kata dan sikapnya yang santun, membuat kaum hawa yang memandangnya pasti langsung jatuh hati.

Bahkan, sebelum ke Samarinda, pemuda yang pernah tinggal di Belanda ini memilih menjadi seorang mualaf. Dia berjanji kepada ibunya yang bersuku Banjar untuk serius memperdalam ilmu agama.

"Usiamu sudah menginjak 28 tahun putraku. Kapan engkau akan menikah? Ayah dan ibumu pasti sudah tidak sabar menimang cucu. Kakek dan nenek juga tidak sabar melihat cicit yang sangat lucu," ucap neneknya membuyarkan lamunan Herman dengan membawa secangkir kopi dan pisang goreng yang pastinya cukup asing di lidah barat cucunya.

"Sabar grandmother (nenek, Red) yang cantik dan awet muda. Herman ingin mendapatkan wanita saleha yang tidak hanya cantik secara paras. Tapi juga saleha, memiliki ilmu agama yang tinggi. Sehingga bisa menyempurnakan keimananku," ucap Herman meyakinkan sambil menggoda nenek kesayangannya.

Singkat cerita, sebulan berlalu semenjak berada di Samarinda Seberang, Herman bertemu dengan Khadijah, anak dari Camat Samarinda Seberang, Ansarullah yang terkenal cantik dan taat beribadah.

Melihat kesabaran, kesantunan yang didukung oleh paras cantik, Khadijah mampu membuat Herman jatuh cinta. Tiga bulan saling kenal, membuat pria tampan tersebut ingin meminang Khadijah.

"Demi Allah aku jatuh cinta kepadamu Khadijah. Aku ingin engkau menjadi pendampingku. Karena aku tidak melihat gadis saleha sepertimu di Kampung Ketupat ini. Yang berparas cantik sangat banyak. Tetapi yang bisa menjadi pendamping dan menyempurnakan imanku rasanya hanya engkau. Izinkan aku menemui orang tuamu dan meminangku Khadijah," ucap Herman kepada Khadijah usai menjalankan salat magrib bersama di Masjid Siratal Mustaqim, Samarinda Seberang.

Namun bukan reaksi bahagia yang diperoleh Herman dari Khadijah. Melainkan raut wajah penuh kesedihan. Hingga akhirnya kata penolakan pun keluar dari bibir tipisnya.

"Aku tidak bisa menerima lamaranmu Herman. Tiga bulan kita bersama, aku hanya menganggap itu sebagai persahabatan. Tidak lebih. Maafkan aku Herman. Assalamualaikum," ucap Khadijah sambil berlalu pergi.

Tiba di rumahnya yang berada di kawasan Kelurahan Tenun, Khadijah menyampaikan niatan baik sahabatnya tersebut. Ansarullah, ayahnya, sangat terkejut mengapa putrinya yang tidak cacat barang sedikitpun menolak lamaran seorang pria tampan dan mapan tersebut.

"Mengapa kau menolak pinangannya? Dia pria yang baik, santun, dan sudah menjadi mualaf. Kau pun dari keluarga yang baik, saleha dan cantik. Mengapa menolak begitu saja," ucap Ansarullah dengan pertanyaan yang seakan tidak habis kepada putrinya.

"Ayah, aku punya alasannya," sanggah Khadijah dan menjelaskan secara panjang lebar mengapa dia menolak Herman, hingga akhirnya Ansarullah paham dan menerima keputusan putrinya.

Keesokan harinya, Khadijah mengajak Herman bertemu usai menunaikan salat Zhuhur di masjid bersejarah di Kaltim tersebut.

"Maafkan aku Herman. Kau pria yang sempurna dan pantas mendapatkan pendamping yang sempurna juga. Aku belum memiliki keimanan yang tinggi seperti yang engkau mau," jelas Khadijah.

"Apa yang kurang darimu Khadijah. Kau cantik, saleha, dan santun. Tidak ada satu gadis pun yang aku lihat memiliki keimanan sempurna sepertimu," protes Herman dengan penuh keheranan.

"Tidak Herman. Aku belum layak seperti yang kamu bilang. Aku juga perlu banyak belajar mengenai agama. Tapi ada yang lebih pantas dariku, dia sahabatku. Memiliki keimanan yang begitu sempurna. Dia buta, tuli, bisu, dan lumpuh. Pinanglah dia wahai sahabatku. Jika memang engkau tidak memandang fisik," ucap Khadijah dengan tatapan serius.

Herman sempat terperangah mendengar permohonan sahabat cantiknya tersebut. Bahkan dia sempat berfikir tidak sanggup jika harus hidup bersama dengan wanita yang cacat meski memiliki keimanan yang sungguh.

"Demi aku Herman. Aku berani jamin dia akan bisa mendukung hari-harimu dalam mencari kebenaran ajaran Islam yang sesungguhnya," ulang Khadijah.

"Baiklah. Jika engkau memaksa. Apalah artinya fisik sempurna jika tidak bisa mendampingi menuju jalan Allah yang benar," ucap Herman mantap.

Seminggu berlalu, tanpa pernah bertemu, akhirnya Herman mempersunting gadis yang dimaksud sahabatnya tersebut. Setelah melakukan salat Tahajud, akhirnya dia mendapat kemantapan hati untuk menerima calon istrinya dengan penuh rasa syukur.

Memasuki Masjid Sirathal Mustaqiem, Herman menuju tempat mempelai wanitanya duduk menunggunya bersama penghulu. 

Dengan mantap dan penuh rasa syukur Herman mengikuti instruksi dari penghulu untuk mengucap ijab kabul. Hingga akhirnya seluruh tamu mengucapkan kata "sah" dan doa syukur yang menyatakan mereka sah sebagai sepasang suami istri.

"Assalamualaikum suamiku," ucap istrinya dengan suara lembut dan merdunya yang tentu membuat Herman keheranan. 

Di tengah kebingungannya tersebut, Ansarullah sebagai camat setempat mengambil sambutan dan memberitahu yang sebenarnya kepada Herman.

"Dia adalah istrimu yang saleha Herman. Dia buta karena tidak bisa melihat hal yang dilarang agama. Dia tuli karena tidak mau mendengar berita buruk dan bohong. Dia bisu karena tidak pernah menceritakan keburukan orang dan mengucapkan hal dusta. Dan dia lumpuh. Karena tidak ingin berjalan ke tempat maksiat dan tidak benar," jelas Ansarullah yang disambut tepuk tangan riuh seluruh tamu undangan.

Mendengar hal tersebut Herman dengan penuh rasa haru mengucap rasa syukur ke hadirat Allah SWT atas rahmat yang begitu melimpah untuknya.

Dengan gemetar dia membuak kerudung istrinya. Dan benar, di hadapannya terlihat seorang wanita sempurna yang memiliki senyum yang begitu menawan dan aura yang begitu tulus dan lembut.

"Subahanallah. Kau begitu sempurna istriku," ucap Herman mengecup jidat istrinya yang sholeha. 

Cerita di atas merupakan cerita dari film pendek yang akan ditayangkan di salah satu stasiun televisi nasional Minggu ini. Film tersebut disutradarai oleh pemainnya sendiri, yaitu Herman, dengan mengambil setting tempat di Kampung Tenun, Masjid Sirathal Mustaqiem.

"Jadi dari film tersebut, sutradara (Herman, Red) ingin memberi pesan bahwa mencari pasangan hidup jangan hanya melihat cantik luarnya saja. Tapi juga kecantikan hati, dan keimanannya," tutup Ansarullah, yang juga mengambil bagian dalam film pendek tersebut. 

Sirathal Mustaqiem dan Kelurahan Tenun menjadi tempat pengambilan gambar karena kedua tempat ini dianggap memiliki nilai budaya serta sejarah. 

"Sirathal Mustaqiem dan Sarung Tenun Samarinda memang sudah melegenda bagi masyarakat Indonesia. Terkenal bahkan hingga di mancanegara. Ini menjadi nilai jual. Harapanya film yang dibuat tersebut juga ikut laris," kata Ansarullah. (*/nha/fab/JPG)

Let's block ads! (Why?)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Incoming Search