Senin, 22 Mei 2017

To Kill A Mocingbird: Kisah Tentang Prasangka dan Kasih Sayang

"You never really understand a person until you consider things from his point of view...until you climb into his skin and walk around in it." Atticus Finch

Prasangka pada dasarnya dapat diartikan sebagai sebuah penilaian yang diyakini kebenarnnya, bahkan sebelum ditemukan fakta yang relevan mengenai sesuatu tersebut. Setiap manusia yang malas mencari tahu kebenaran, pasti memiliki bakat berprasangka dalam dirinya. Tak hanya bisa mengubah penilaian diri sendiri terhadap sesuatu, prasangka juga dapat mengubah cara pandang orang lain dan tak jarang menggiring opini ke arah yang keliru. Ketahuilah, bahwa bagaimanapun juga prasangka adalah dugaan sementara yang berupaya menerobos fakta-fakta rapuh yang tak hanya merugikan namun juga berbahaya. Topik itulah yang kemudian diangkat oleh Nelle Harper Lee dalam novelnya yang berjudul To Kill A Mockingbird. Dalam novelnya ini Ia mengisahkan bagaimana prasangka umum yang terbentuk dapat merugikan seseorang atau suatu kelompok.

Novel ini bercerita tentang kehidupan Scout, yang tinggal bersama Ayahnya, Atticus dan Abangnya, Jem di sebuah pinggiran kota kecil di Amerika Serikat. Walaupun hidup tanpa figur seorang ibu, Scout dan kakaknya tak merasa kekurangan kasih sayang. Mereka berdua mendapatkan didikan dan perhatian penuh dari Atticus, serta kasih sayang dari pembantu mereka, Calipurnia. Masa kecil Scout, Jem dan teman mereka Dill, begitu seru dan penuh petualangan. Salah satu petualangan yang paling menantang bagi mereka adalah ketika menyelidiki tentang Boo Radley, tetangga mereka yang tak pernah terlihat wujudnya, serta dicap sebagai orang tak waras yang kejam dan menakutkan.

Sayangnya, cerita keceriaan masa kecil Scout dan Jem harus berakhir ketika ayah mereka memutuskan untuk menjadi pengacara bagi seorang kulit hitam. Pada tahun 1930-an, Amerika Serikat sedang dilanda isu rasialisme yang cukup kencang, sehingga keputusan Atticus tersebut banyak dicemooh oleh orang-orang. Tak terkecuali para tetangga dan teman sekolah mereka. Saat itu, Atticus yakin bahwa Tom Robbinson, yang merupakan seorang keturunan Nigger bukanlah pelaku pemerkosaan seorang gadis putih bernama Mayella Ewell. Akan tetapi stereotip terlanjur bergulir tak bisa dihentikan. dan betah berdiam di hati warga Maycomb. Mayoritas warga berkulit putih memandang warga kulit hitam sebagai sampah masyarakat dan biang segala keonaran serta kejahatan.

Walaupun mendapat banyak kecaman dan bahkan ancaman, Atticus tak gentar untuk membela kebenaran. Baginya, warna kulit tak menentukan baik atau buruknya seseorang. Ia juga berusaha menanamkan pemikiran ini pada anak-anaknya, dan menyampaikan bahwa mereka tak perlu malu jika sang ayah membela orang kulit hitam. Malah, ia menyarankan Scout dan Jem untuk berjalan dengan meneggakan kepala dan membiarkan cemoohan itu berlalu.

Cerita semakin menegang ketika memasukki pertengahan buku, yakni ketika pengadilan kasus Tom Robbinson digelar. Proses pengadilan ini menyorot perhatian yang besar dari penduduk kota Maycomb, tak terkecuali Jem dan Scout. Secara piawai, Atticus mulai mengemukakan berbagai fakta dan bukti kuat yang sebetulnya sulit sekali disangkal. Fakta-fakta tersebut harusnya dapat membebaskan sang terdakwa, Tom Robinson dari hukuman mati. Akan tetapi negro tetaplah negro. Bahkan perjuangan Atticus untuk mengungkap kebenaranpun harus terhalang oleh prasangka buruk yang terlanjur mendarah daging pada kaum kulit hitam. Dari persidangan inilah kemudian Scout melihat bahwa kehidupan tak melulu soal hitam dan putih dan bahwa prasangka seringkali membutakan manusia untuk membuat keputusan yang adil.

Dalam novel ini kita akan disuguhkan berbagai macam kasus yang secara tak langsung mengajarkan kita bahwa prasangka itu seringkali keliru. Tom Robbinson memang orang berkulit hitam, tapi ia mengemukakan kejujuran saat berkata bahwa ia tak memperkosa Mayella Ewell. Akan tetapi justru ayahnya sendirilah, Bob Ewell yang berkulit putih yang melakukan perilaku seperti binatang pada anak perempuannya itu. Disini kita belajar bahwa warna kulit putih tak selalu bersih, dan warna kulit hitam tak melulu kotor.

Selain mengangkat isu rasialisme, To Kill A Mockingbird adalah novel tentang praduga. Tentang bagaimana manusia kerapkali membangun sangkaan-sangkaan terhadap manusia lainnya. Seperti yang terjadi dengan Boo Radley. Boo, jarang terlihat keluar dari rumahnya dan merupakan seorang anti-sosial. Hal itu kemudian menumbuhkan prasangka yang tidak-tidak terhdap Boo. Mulai dari anggapan bahwa Boo adalah seorang yang tidak waras, kejam dan jahat. Akan tetapi mereka tidak mengetahui kebenaran bahwa Boo adalah dalang dibalik hadiah-hadiah indah yang diperoleh Jem dan Scout. Bahkan, Boo juga memberanikan diri keluar rumah untuk menolong Jem dan Scout yang mendapat serangan dari Bob Ewell.

Novel yang ditulis oleh Harper Lee pada tahun 1960 ini langsung menjadi best seller selang beberapa waktu setelah diterbitkan. Bahkan, novel ini memperoleh Pulitzer Prize. Hingga kini, novel ini terus mendapatkan apresiasi dari berbagai masyarakat di seluruh dunia. Library ofJournal di Amerikan pun menobatkan buku ini sebagai "Novel terbaik Abad ini". Predikat yang disematkan ini rasanya tak berlebihan karena novel ini mampu menyampaikan banyak pesan moral yang bisa diambil hikmahnya, tanpa membuat pembacanya merasa digurui.

Oleh : IPE

Let's block ads! (Why?)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Incoming Search