Senin, 25 Desember 2017

Kisah Gereja Kayu Tanpa Paku yang Miring dan Tegak Sendiri

Bangunan gereja, di masa penjajahan hingga awal kemerdekaan sempat menjadi satu bagian dari rumah sakit. Namun, dalam perkembangannya, mengikuti arah perkembangan keramaian daerah maka rumah sakit kemudian dipindahkan ke pusat kota Purwodadi.

"Gereja ini memang sudah lebih dari 100 tahun. Namun tidak banyak renovasi yang dilakukan. Hanya lantai yang dipasang keramik.

Di bagian depan ada sebuah bangunan yang berfungsi sebagai rumah lonceng. Lonceng ini sangat besar dan suaranya juga cukup keras. Ketika lonceng dibunyikan, getaran suara bisa dirasakan sampai tanah juga ikut bergetar.

Besarnya getaran itu, tentu saja membuat ratusan umat Kristen yang beribadah di gereja itu merasa khawatir. Mereka takut jika bunyi lonceng besar itu justru akan merusak seluruh bangunan.

Kemudian disepakati, dengan dana yang tersedia, umat Kristen setempat bergotong royong memindahkan lonceng itu. Ia harus dipindah dari tempatnya yang menyatu dengan bangunan gereja.

Semua masih asli sejak dibangun, termasuk altar dan kursi umat. (foto : Liputan6.com/felek wahyu)

Menurut Agus, atas kesepakatan umat, maka lonceng itu dibuatkan rumah tersendiri.

"Selain lantai kita memindah lonceng dari dalam gedung ke depan. Kita buatkan bangunan sendiri agar jika pas dibunyikan tidak merusak gedung," kata Agus.

Meskipun sudah dibuatkan rumah sendiri, bunyi lonceng itu memang memiliki frekwensi tinggi. Sehingga getaran akibat bunyi masih bisa dirasakan, meski sudah jauh berkurang. Bangunan gereja itu sendiri sesungguhnya bangunan peninggalan Zending yang masuk ke Indonesia bersama dengan penjajahan VOC antara abad 16 hingga abat 18.

"Ornamennya masih asli termasuk kursi dan altar tidak kita ubah," kata Agus.

Let's block ads! (Why?)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Incoming Search