Sampah? Memang terdengar tak berharga. Bahkan terlihat menjijikan. Tapi di balik itu ada pergerakan bisnis menggiurkan. Itulah yang terjadi setiap harinya di tempat pembuangan akhir (TPA) Basirih. MUHAMMAD RIFANI, Banjarmasin.
SAMPAH – TPA Basirih terletak 14 km di sebelah selatan kota Banjarmasin. Sekitar 600 ton sampah setiap harinya diangkut. Jenisnya lengkap, mulai dari plastik hingga bekas makanan.
MUHAMMAD RIFANI/RADAR BANJARMASIN TPA Basirih terletak 14 km di sebelah selatan kota Banjarmasin. Sekitar 600 tom sampah setiap harinya diangkut ke tempat pembuangan akhir tersebut. Jenisnya lengkap. Mulai dari plastik hingga bekas makanan. Ada juga peralatan rumah tanggal seperti benda-benda elektronik dan lainnya.
Namanya juga pembuangan akhir. Baunya tentu saja menyengat. Masyarakat umum mungkin tak mau berkunjung ke sana. Karena membayangkan saja sudah malas. Apalagi jika harus bergelut dalam puluhan ribuan ton sampah.
Tapi hal itu justru tak berlaku bagi para pemulung. Bermodalkan sebuah keranjang, mereka mengais setiap sampah
Itulah pemandangan pagi hari di Tempat Pembuang Akhir (TPA) Basirih dengan ratusan pemulungnya. Saat penulis menyambangi TPA yang biasa menampung 600 ton sampah perharinya ini, terlihat dari pagi sampai siang, gunungan sampah ini di invasi oleh pemulung yang di dominasi oleh kaum hawa di banding pria.
"Kita biasanya dari subuh sampai siang mencari sampahnya. Kalau pria biasanya sore sampai malam bahkan tengah malam. Karena di sini sampahnya datang terus selama 24 jam," kata Marsyitah (34), salah satu pemulung yang sudah dua tahun menekuni profesi itu.
Deru Excavator yang dengan gahar mengeruk ratusan ton sampah pun bukan jadi hal yang menakutkan bagi para pemulung ini. Bukannya menjauh dari mesin besar kekar ini, tanpa rasa canggung mereka seakan sudah terbiasa mencungkil sampah dari jarak beberapa meter dari badan Excavator.
Inilah sedikit gambaran dari pekerjaan para pemulung tersebut. Namun di balik sosoknya yang mungkin terlihat sangat kotor dan profesi yang agak 'memalukan' ini, ternyata menurut penelusuran penulis, penghasilan yang mereka kumpulkan sangatlah di luar dugaan bahkan bisa di bilang di atas gaji pokok PNS.
Bayangkan, paling sedikit dalam satu hari dari mengumpulkan sampah-sampah tersebut, mereka rata-rata bisa memperoleh 75.000 rupiah. Dan jika mujur, angka 150.000 rupiah bukanlah angka yang mustahil didapat. Jika dikalikan dalam satu bulan, selama bekerja kurang lebih 12 jam perhari, para pemulung rata-rata punya penghasilan 2.500.000 sampai 3.500.000 perbulan. Angka ini tentunya lebih besar dari Upah Minimum Provinsi Kalsel.
"Kita menjual hasil mulung ini ke pengepul. Nah, untuk harga sampah itu beda-beda tergantung kriterianya. Tapi bagi kita sebagai pemulung, pengepul atau yang di atas lagi, sampah jenis plastik seperti botol minuman adalah favorit," kata Marsyitah yang biasanya mengumpulkan sampah dari satu sampai tiga pikul perharinya ini.
Memang hal ini dibenarkan oleh Supriyadi (50), salah satu pengepul yang beroperasi di TPA Basirih yang ditemui penulis. Kepada wartawan pria yang akrab di sapa Yadi ini membeberkan jika kehidupannya sebagai pemulung sangatlah berkah dan menguntungkan.
"Saya sudah enam tahun jadi pengepul di sini bersama dengan dua pengepul lainnya. Sistem yang kita terapkan di sini adalah para pemulung menyetor dan menjual hasilnya kepada kita dengan cara di timbang dan di upah langsung," tutur pria yang membayar sebanyak 300.000 rupiah perbulannya ke pihak TPA Basirih ini.
Secara rinci Yadi memaparkan kalau sampah yang dibelinya terdiri dari beberapa jenis dengan harga bervariatif. Jenisnya berupa sampah kantong kresek yang dihargai 500 rupiah per kg, sampah karung seharga 300 rupiah per kg, sampah kaleng seharga 400 rupiah per kg, sampah sandal bekas seharga 400 rupiah per kg, serta sampah jenis plastik seperti botol minum, gelas minum atau peralatan rumah tangga berbahan plastik (ember, gayung,dll) seharga 1.200 rupiah per kg nya.
Dari harga yang dibelinya tersebut, Yadi mengalirkan sampah tersebut untuk di jualnya lagi ke Gudang (sebutan untuk orang yang membeli sampah dari pengepul). "di gudang sampah kantong kresek itu di hargai seribu rupiah per kg nya, terus sampah jenis botol minum plastik diihargai 2000 rupiah per kg, gelas minuman kemasan di hargai 3000 rupiah per kg nya, dan alat rumah tangga dari bahan plastic seperti ember, gayung dll di hargai 2500 rupiah per kg nya. Untuk sampah seperti kaleng dan sandal dihargai dari 1000-2000 rupiah per kg nya," bebernya.
Dari sistem jual beli itulah, Yadi dalam satu bulan bisa mengantongi laba bersih sebesar 6-10 juta rupiah. Memang dalam satu hari Yadi rata-rata mengeluarkan dana sebanyak 2.500.000 untuk membeli sampah dari pemulung. Namun dari uang tersebut dia bisa memperoleh laba yang mencengangkan, yaitu 200 rupiah dari setiap kg sampah yang di belinya. Sedangkan dalam satu kali angkut dan menjual lagi ke pihak gudang, Yadi mampu menjual sampah sebanyak 5-8 ton perhari.
Kebiasaannya, Yadi dalam satu bulan mengangkut sampahnya ke gudang dari 4-8 kali. Maka jika di rumuskan, dalam satu bulan Yadi menjual sampah sebanyak 40-60 ton. Jika di rupiahkan, Yadi akan mendapat laba bersih sebanyak 8.000.000 – 12.000.000 rupiah, karena dalam satu kg Yadi mendapat laba bersih 200 rupiah, dan 200 rupiah di kalikan satuan ton yang berarti satu ton 1000 kg, maka akan di dapat total angka 8 juta hingga 12 juta tersebut.
"Saya menjual ke gudang itu sebenarnya labanya hampir 100 persen. Misal sampah kresek itu saya beli dari pemulung 500 rupiah kan, tapi kalau saya jual ke gudang seharga 1000 rupiah. Namun kenapa laba bersih saya hanya 200 rupiah per kg, karena itu sudah termasuk biaya buruh angkut, transportasi dan juga pengepakan, makanya sebulan sebenarnya bisa dapat laba 8jt, tapi rata-rata hanya 6jt an karena biaya lain-lain," kata Yadi yang pernah rugi 60 juta gara-gara sampahnya terbakar ini.
Tentunya berpenghasilan 6-10 juta perbulan adalah angka yang cukup mencengangkan melihat dari profesinya sebagai pengepul. Setelah menelusuri pola jual beli di TPA Basirih, dengan berbagai informasi dari sana, penuli melanjutkan reportase ke sebuah Gudang yang biasa membeli sampah dari pengepul. Letaknya tak terlalu jauh dari TPA Basirih, Gudang ini berada di dekat pelabuhan Bandarmasih.
Dari luar, pemandangan gudang ini agak terlihat menyeramkan dan penuh rongsokan. Wajar tempatnya menampung ratusan bahkan jutaan ton sampah dalm seharinya. Hilir mudik truk pengangkut sampah juga memadati lapangan gudang yang menyediakan tempat timbang ini. Beberapa karyawan gudang itu juga terlihat sibuk mengangkat sampah-sampah dari para pengepul yang menjual.
UD Bimara adalah nama dari Gudang yang sudah 11 tahun menggeluti bisnis jual beli sampah ini. Kaharjo (56) yang merupakan pemiliknya mengatakan kalau pengepul yang datang kepadanya tidak hanya dari Kalsel saja, melainkan dari Kalteng pun juga sering datang untuk menjual sampah.
"Dalam satu hari itu rata-rata 10 pengepul sih yang menjual. Satu pengepul biasanya datang dengan satu truk yang berisi 5-10 ton sampah plastik. Nah kita biasa membeli sampah plastik seperti botol minum, minuman gelas kemasan, alat rumah tangga dari plasti seperti ember, kursi, gayung dll," katanya.
Tak jauh rinci dengan pengepul, Kaharjo menjabarkan harga setiap jenis sampah yang biasa di belinya. Untuk botol minuman dia menghargai dari 1.100 – 4.000 rupiah per kg nya, untuk minuman gelas dari 5.700 – 7.500 rupiah per kg dan jenis plastic dari alat rumah tangga di hargai 2.200 – 2.600 per kg nya. Harga yang tidak sama menurut Kaharjo di pengaruhi dari kondisi dan warna dari sampah yang di jual pengepul kepadanya.
Dari membeli dari pengepul, Kaharjo menjual lagi sampah tersebut ke Surabaya dan Jakarta. "Akan kita kirim lagi ke sana, mereka pabrik yang mendaur ulang lagi sampah-sampah plastik ini. Dalam satu hari biasanya saya bisa mengirim satu truk fuso (truk bermuatan besar) dengan total berat 7-16 ton, bahkan kalau rame bisa sampai menggunakan container lewat pelabuhan," kata bapak dari lima anak ini.
Karena bisnis inilah, Kaharjo dalam perbulannya bisa meraup laba bersih sebanyak 20-30 juta rupiah. Hasil tersebut didapatnya dari perhitungan laba 2-3 persen dari total omset penjualan sampah. Sebab dalam satu bulannya, Kaharjo mampu mengirim sampah sebanyak 200-250 ton. Dalam hitungan rupiahnya, Kaharjo mendapat harga kotor sebesar 5000 rupiah per kg dari pihak pendaur ulang, dan jika dikalikan dia meraup omset satu miliar selama sebulan dari sampah yang dibelinya.
"Tapi dari 1 miliar tersebut kan dikurangi lagi dari biaya-biaya yang harus saya keluarkan. Mulai dari membeli sampah dari pengepul, menggaji karyawan, upah buruh, hingga sewa transport untuk mengantarnya. Makanya dalam satu bulan hanya dapat laba bersih 2-3 persen dari 1 miliar atau sekitar 30 juta," katanya yang mengatakan dapat keuntungan 2000 rupiah dari setiap kg sampah yang dibelinya.
Keuntungan 2000 rupiah Kaharjo per kg di dapat dari rumus seberapa besar selisih yang diperolehnya dari membeli sampah di pengepul dan menjualnya ke luar pulau. Misalnya Botol Minuman yang dibelinya dengan harga dari 1000-4000 rupiah dari pengepul akan bernilai jual jadi 5000-6000 rupiah di Surabaya dengan catatan sudah melalui proses sortir dan pengepakan.
Memang, menurut data yang diberikannya, dia harus mengeluarkan biaya sebanyak 100-150 juta perhari untuk membeli sampah dari pengepul. Namun biaya tersebut akan terbayar ketika sampah yang diterimanya digiling dan dipress yang kemudian di jual ke Surabaya. "Ini harus kita giling dan press dulu agar nilai jualnya tinggi, makanya di sini ada mesin dan pekerjanya juga," tambahnya.
Bayangkan saja, dari pemulung mereka bisa mendapat pengasilan 2-3 juta perbulan. Di tangan pengepul sampah bisa membuatnya memperoleh penghasilan 6-10 juta. Terus ke atas lagi, di gudang, sampah bisa membuat pengelolanya dapat penghasilan 20-30 juta rupiah. Tentunya angka yang mencengangkan dan tidak pernah terbayangkan. (rvn)
Let's block ads! (Why?)